Tes untuk Guru Asing di Indonesia: Apakah Anda Homoseksual?

Sesuai dengan peraturan pemerintah, guru-guru di beberapa sekolah internasional menghadapi pertanyaan-pertanyaan mengganggu dengan tujuan mengidentifikasikan mereka yang memiliki orientasi seksual yang “tidak normal”.

An anti-L.G.B.T. protest in Yogyakarta, Indonesia, in 2016. Lesbians, gays, bisexuals and transgender people face growing hostility across Indonesia.Credit...

An anti-L.G.B.T. protest in Yogyakarta, Indonesia, in 2016. Lesbians, gays, bisexuals and transgender people face growing hostility across Indonesia. Source: Ulet Ifansasti/Getty Images

Setuju atau tidak setuju, sebuah ujian di Indonesia bertanya: "Saya akan merasa tidak nyaman mengetahui bahwa guru dari anak perempuan atau laki-laki saya adalah seorang homoseksual."

Atau ini, benar atau salah: "Komposisi jenis kelamin dari sebuah pesta seks tidak akan relevan dengan keputusan saya untuk ikut serta."

Dalam beberapa minggu terakhir, guru asing di beberapa sekolah swasta di Indonesia telah diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dan banyak lagi yang seperti ini, dalam apa yang disebut sebagai ujian psikologis.

Tujuannya adalah untuk menentukan orientasi seksual dan sikap guru terhadap hak-hak homoseksual berdasarkan peraturan pemerintah tahun 2015 yang melarang sekolah internasional merekrut guru asing yang memiliki "indikasi perilaku atau orientasi seksual yang tidak normal."

"Untuk guru asing, jika psikolog menyatakan bahwa seorang kandidat memiliki orientasi seksual yang menyimpang, tentu sekolah tidak akan mempekerjakan orang tersebut," kata Waadarrahman, seorang pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Tes ini dilakukan ketika para lesbian, gay, biseksual dan transgender menghadapi pertentangan yang bertumbuh di seluruh Indonesia, negara yang pernah dipandang sebagai salah satu negara paling toleran di dunia Islam. Secara resmi merupakan negara sekuler, Indonesia memiliki populasi Muslim terbesar di dunia.
Neil Bantleman, left, a guidance counselor, and Ferdinand Tjiong, second left, a teaching assistant, in a holding cell in Jakarta in 2015.
Neil Bantleman, left, a guidance counselor, and Ferdinand Tjiong, second left, a teaching assistant, in a holding cell in Jakarta in 2015. Source: Bay Ismoyo/Agence France-Presse — Getty Images
Pada bulan September, Parlemen hampir menyelesaikan perombakan hukum pidana yang secara efektif akan melarang hubungan gay dan lesbian. Usulan serupa diharapkan akan muncul pada tahun baru.

Di Kabupaten Bekasi, yang berbatasan dengan ibu kota Jakarta, Badan Perlindungan Anak mengatakan pada bulan ini bahwa mereka telah menggunakan catatan polisi untuk mengidentifikasi 4.000 orang yang menderita “penyakit” sebagai lesbian, gay, biseksual atau transgender.

Dengan menggunakan teori yang disanggah di Barat, komisaris badan tersebut, Mohamad Rojak, mengatakan kepada wartawan bahwa "mayoritas disorientasi seksual" disebabkan oleh "gaya hidup bebas" dan mendesak orang-orang dalam daftar itu untuk mengatasi kondisi mereka dengan melakukan "terapi".

Tindakan keras terhadap para LGBT di lingkungan pekerjaan di Indonesia juga melampaui sekolah. Kantor jaksa agung Indonesia, yang bertanggung jawab untuk menegakkan hukum atas diskriminasi, pada bulan lalu menyebutkan di situs webnya bahwa pelamar pekerjaan tidak boleh memiliki "gangguan orientasi seksual" atau "penyimpangan perilaku."

"Kami hanya menginginkan yang normal," kata juru bicara kantor jaksa agung, Mukri, kepada wartawan. "Kami tidak menginginkan yang aneh."

Homoseksualitas tidaklah ilegal di Indonesia, kecuali di provinsi dengan otonomi khusus Aceh dimana gay dan lesbian dapat dijatuhi hukuman cambuk sesuai hukum Islam Syariah.  

Tetapi wakil presiden baru negara itu, Ma'ruf Amin, yang sebelumnya adalah seorang ulama Islam terkemuka, telah lama mendukung kriminalisasi dan hukuman keras terhadap kaum gay dan lesbian.

Persyaratan ujian guru diadopsi setelah kasus 2014 yang kontroversial dimana seorang guru asal Kanada dan enam orang warga Indonesia dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa siswa di sekolah bergengsi Jakarta International School.

Ketujuh orang itu dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara yang lama atas dasar bukti yang tidak masuk akal, termasuk bahwa pria Kanada, Neil Bantleman, menggunakan kekuatan magis untuk merayu anak-anak dan membuat tempat kejadian tidak terlihat. Ia memperoleh grasi pada bulan Juni dan dibebaskan setelah menjalani lima tahun penjara.

Para pejabat mengatakan bahawa salah satu tujuan dari peraturan dilakukannya tes ini adalah untuk mencegah para pedofil asing dipekerjakan sebagai guru. Tetapi pertanyaan-pertanyaan ujian psikologis yang ditinjau oleh The New York Times lebih berfokus pada orientasi seksual dan sikap terhadap homoseksualitas.

Waadarrahman, pejabat kementerian pendidikan, mengatakan peraturan itu berlaku untuk 168 sekolah, termasuk Jakarta Intercultural School, yang menawarkan kurikulum internasional.

Banyak dari sekolah ini menarik orang Indonesia kaya yang ingin anak-anak mereka memiliki akses ke pendidikan internasional dengan program Advanced Placement atau International Baccalaureate.

Kepaa sekolah dari Jakarta Intercultural School, Tarek Razik, menolak berkomentar tentang peraturan ini dan juga tentang bagaimana sekolah menjalankan uji psikologis terhadap staf pengajarnya.

Gelombang ujian baru-baru ini telah menggelisahkan beberapa pengajar internasional yang khawatir bahwa sekolah atau juga pemerintah akan mengeluarkan para guru yang mungkin gay atau lesbian.

Tetapi para pengajar yang akan dipengaruhi oleh ujian ini menolak untuk berkomentar di depan umum karena takut kehilangannya pekerjaan mereka.

Menurut peraturan ini, sekolah-sekolah diwajibkan agar mendapatkan sertifikasi dari seorang psikolog, yang menyatakan bahwa masing-masing guru tidak memiliki gangguan perilaku atau "orientasi seksual yang tidak normal".

Akan tetapi, penegakan peraturan ini masih serampangan. Setiap sekolah dibiarkan mempekerjakan seorang psikolog untuk melakukan proses sertifikasi guru, yangmana diperlukan sebelum guru diterima bekerja dan setiap enam tahun ketika akreditasi sekolah diperbarui.

Tidak ada ujian terstandar. Prosedur pengujian diserahkan pada masing-masing sekolah dan beberapa versi ujian lebih mengganggu daripada yang lain.

Satu sekolah yang menyelenggarakan tes bulan lalu adalah Mentari Intercultural School di Jakarta.

Ujian ini mencakup banyak pertanyaan terkait perilaku, dengan setidaknya 38 pertanyaan berhubungan dengan orientasi seksual dan sikap terhadap hak-hak homoseksual, berdasarkan lembaran tes yang diperoleh The New York Times.

Meski tujuan dari peraturan ini mungkin untuk mengetahui predator lebih awal, tapi banyak dari pertanyaannya mencakup sikap terhadap hak-hak homoseksual.  

Contohnya, setuju atau tidak setuju:

— "Kurikulum pendidikan seksual seharusnya mencakup semua orientasi seksual."

— "Perayaan-perayaan seperti gay pride day adalah konyol karena mengasumsikan bahwa orientasi seksual seseorang merupakan sumber kebanggaan."

— Para pengajar seharusnya berusaha mengurangi prasangka yang dimiliki oleh para muridnya terhadap homoseksualitas."

Banyak pertanyaan yang tampaknya bersumber dari Minnesota Multiphasic Personality Inventory, yangmana dirancang untuk menilai karakter kepribadian dan psikopatologi. Pertanyaan-pertanyaan lainnya bertujuan untuk menunjukkan posisi masing-masing guru sesuai dengan skala orientasi seksual Kinsey.

Banyak diantara pertanyaan itu yang sifatnya pribadi. Pertanyaan berikut ini ditanyakan pada para pria:

— "Saya tidak ingin meninggal tanpa mencoba eksperimen seksual baik itu dengan pria dan juga wanita."

— "Saya dapat tertarik secara seksual dengan siapa pun dalam situasi yang tepat."

— "Saya hanya tertarik pada pria."

Pihak sekolah Mentari tidak merespon terkait pertanyaan tentang tes ini.

Share
Published 25 December 2019 4:52pm
Source: SBS News, The New York Times


Share this with family and friends