'Kesedihan Berkepanjangan': Komunitas Bali Masih Bergulat dengan Trauma Pengeboman 20 Tahun Lalu

Dua puluh tahun berlalu sejak peristiwa Bom Bali yang merenggut 202 nyawa, dampak tragedi itu terus terasa bagi anggota keluarga yang kehilangan orang-orang terkasih, dan juga bagi komunitas Bali di Australia.

Bali Bombing Anniversary

Balinese youths hold lit candles during a memorial service for the victims of the 2002 Bali bombings to mark the 17th anniversary of the attacks, at the Bali Bombing Memorial in Kuta near Denpasar on Indonesia's resort island of Bali on October 12, 2019. Source: NurPhoto / Keyza Widiatmika/NurPhoto via Getty Images

Tiga bom meledak di Bali pada 12 Oktober 2002 lewat pukul 11 malam.

Dua diantaranya diledakkan di kawasan hiburan malam Kuta yang ramai - Paddy's Bar dan Sari Club - dan satu lagi di depan konsulat Amerika di Denpasar.

Tahun ini menandai 20 tahun sejak serangan mengerikan itu – yang menewaskan 202 orang, termasuk 88 warga Australia – dan acara peringatan diadakan di seluruh Australia dan Indonesia.

Meski puluhan tahun telah berlalu, insiden tersebut terus menyulut emosi mendalam bagi mereka yang terkena dampak langsung.
BALI BOMBING 15TH ANNIVERSARY SYDNEY
The names of 88 Australians, who lost their lives in the 2002 Bali Bombing are seen on a plaque at the Bali Memorial at Dolphins Point at Coogee Beach. Source: AAP / MICK TSIKAS/AAPIMAGE
"Saya tidak mau memikirkan itu lagi," kata ibu dua anak Ni Luh Erniati, yang kehilangan suaminya dalam serangan bom itu.

Suami Ms Erniati, I Gede Badrawan, bekerja sebagai pelayan di Sari Club, yang merupakan tempat hiburan malam yang populer di kalangan wisatawan.

Pada malam naas itu, Ms Erniati – yang saat itu berusia 30 tahun – tinggal di sebuah rumah yang hanya berjarak satu kilometer dari ground zero.

Pengeboman itu tidak hanya membuatnya kehilangan "tulang punggung" keluarga mudanya, tetapi juga membuatnya mendapat stigma, ungkap Ms erniati.

“Tidak hanya saya kehilangan suami, [tetapi] saya juga dihadapkan pada masalah sosial karena status saya yang harus menjadi janda,” katanya.

“Dalam keluarga sendiri, saya mau dikembalikan ke orang tua saya, [dan] hak asuh anak mau diambil.”

Dia mengatakan kepada SBS Indonesian bahwa butuh konseling dan pengobatan selama bertahun-tahun untuk pulih dari trauma peristiwa tersebut.

Dirinya mengalami periode "kesedihan berkepanjangan" saat harus bergulat dengan bagaimana bertahan hidup sebagai orang tua tunggal.
Ni Luh Erniati.jpeg
The wife of one of the Bali bombings victims, Ni Luh Erniati, with her two sons. Credit: Supplied/Ni Luh Erniati
Dia kemudian membentuk Yayasan Penyintas Indonesia, sebuah kelompok untuk korban insiden teror di Indonesia.

Dikelilingi oleh sesama penyintas dan didukung oleh bantuan para relawan, termasuk dukungan dari Australia, Ms Erniati mampu “menemukan kekuatan”.

Ia belajar bagaimana mendapatkan uang melalui menjahit, yang tetap menjadi sumber pendapatannya sampai hari ini.

Bagaimana reaksi Indonesia?

Bom Bali 2002 dilakukan oleh Jemaah Islamiyah (JI), sebuah kelompok teroris Asia Tenggara yang berbasis di Indonesia.

Lebih dari 30 orang akhirnya ditangkap sehubungan dengan serangan itu, dan tiga orang yang terkait dengan JI telah dieksekusi.

Sejak serangan tersebut, Indonesia telah mengadopsi berbagai upaya untuk memerangi terorisme domestik, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The Habibie Center pada tahun 2019.

Langkah ini termasuk Keputusan Darurat Presiden tentang Pencegahan Terorisme dan implementasi undang-undang anti-terorisme, serta pembentukan satuan tugas khusus untuk terorisme seperti Densus 88 dan BNPT, badan nasional penanggulangan terorisme negara itu.

Profesor Prof Dr H. Lukman S. Thahir, MA adalah pakar terorisme dari Universitas Islam Negeri Datokarama di Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Ia mengatakan, respon terhadap bom Bali merupakan cerminan “keseriusan” Indonesia dalam menangani isu terorisme.

Namun dia mendesak pemerintah untuk tetap “waspada” karena Indonesia masih dipandang sebagai lokasi yang menarik bagi beberapa kelompok radikal.
Bali Bombing Anniversary
A mourner prayed and turn on candle around the wall name of victim's at the Bali bombing monument on October 12, 2019 in Kuta, Bali, Indonesia. Source: NurPhoto / NurPhoto/NurPhoto via Getty Images
“Bukannya [terorisme] tidak bisa dihapus, tetapi bagaimana Indonesia terus berusaha untuk meminimalisirnya,” kata Prof Thahir, mengakui bahwa ini merupakan perang berkelanjutan untuk melawan sel-sel organisasi teroris di negara kepulauan yang menjadi tujuan wisata bagi banyak orang Australia tersebut.

“Masyarakat [harus] menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pencegahan terorisme,” tambahnya.

Pada tahun 2002, Sydneysider Dewi Booth bekerja di Sunrise Bali International School bersama suaminya ,Philip.

Ia sedang mengandung anak pertama mereka dan tinggal tiga kilometer dari lokasi kejadian ketika ledakan itu terjadi.

Sebagai seorang Muslim, Ms Booth mengatakan pemboman itu sama sekali tidak mewakili keyakinannya.
Itu kan terorisme. Saya Muslim juga, jadi itu cuman crazy people yang mengaku sebagai orang Islam. Tapi kan orang islam sebetulnya nggak kayak begitu.
Dewi Booth
“Ya mereka mungkin Muslim karena sholat dan ngaji dan sebagainya. Tapi mungkin mereka sudah jadi apa yang kita bilang ekstrimis, yang garis keras, punya tujuan yang terlalu jauh dan melenceng.

Philip tidak dapat melanjutkan kontrak kerjanya dengan sekolah tempatnya mengajar setelah insiden pengeboman karena dampak ekonomi yang mengikuti.
Dewi Booth's family.jpg
Credit: Supplied/Dewi Booth

20 tahun telah berlalu, apakah masih ada amarah?

Serangan di Bali merupakan aksi teror tunggal yang paling banyak merenggut nyawa warga Australia.

Terlepas dari kenyataan tersebut, anggota komunitas Bali di Australia tidak menjadi sasaran kemarahan pasca kejadian, kata Nyoman Budi dari Komunitas Bali NSW.

"Dari pengalaman pribadi saya, mereka [orang Australia] justru mendukung secara positif. Mereka bahkan kasihan pada kami," ungkapnya.
Balinese Come To Terms With Suicide Terror Atrocity
Balinese cafe owners, workers and local community members pray at a Cleansing ceremony after the suicide bomber attacks October 3, 2005 in Bali, Indonesia. Credit: Jason Childs/Getty Images
Mr Budi, yang telah tinggal di Australia selama lebih dari 30 tahun, pada saat kejadian sedang bekerja untuk Qantas.

Pemboman itu terjadi di kampung halamannya, hanya beberapa ratus meter saja dari rumah keluarganya.

Mr Budi, yang adalah seorang Mangku (sama halnya dengan pendeta) dalam komunitas Hindu, percaya bahwa ada “pelajaran hidup” yang dapat dipetik dari tragedi itu, dan bahwa tidak boleh ada dendam berkepanjangan antara Australia dan Indonesia.

Dia mengutip aturan karmaphala, yang dapat diterjemahkan menjadi "buah tindakan".

“Kejadian ini menjadi phala bagi kita semua untuk introspeksi diri, agar kita bisa belajar dari kejadian tersebut, sehingga tidak terjadi lagi.

“Hukum karmaphala yang akan berjalan,” pungkasnya.

Sementara dari Bali, Ms Erniati dan keluarga korban lainnya mengunjungi lokasi pengeboman setiap tahun untuk berdoa bagi orang-orang yang mereka cintai.

Meskipun tragedi itu telah selamanya mengubah kehidupnya, ia mengatakan tidak memendam kemarahan karena "hanya akan menyakitinya dan membatasi langkahnya ke depan".
Yang saya pikirkan sekarang adalah bagaimana membuat masa depan saya dan anak-anak lebih baik lagi.
Ni Luh Erniati
Peringatan dilakukan di Gedung Parlemen di Canberra dan juga di Konsulat Jenderal Australia di Bali pada 12 Oktober.

Sementara di Sydney, Dewan Kota Randwick menggelar upacara peringatan di Bali Memorial di Dolphins Point, Coogee, pada hari yang sama.

Additional reporting by Nurhadi Sucahyo.

Dengarkan 
setiap hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di 
dan jangan lewatkan kami.

Share
Published 12 October 2022 1:06pm
Updated 12 October 2022 1:17pm
By Tia Ardha
Source: SBS


Share this with family and friends