'Setiap Orang Papua Ingin Merdeka': Rasisme, Disintegrasi Jadi Inti Unjuk Rasa Papua Barat

Unjuk rasa yang dilakukan warga Papua di beberapa kota di Indonesia terkait dengan isu rasisme dan disintegrasi juga menggema di Australia.

West Papua protest

A Papuan activist with the separatist Morning Star flag on his face shouts slogans during a rally near the presidential palace in Jakarta 22/08/2019. Source: AAP Image/AP Photo/Dita Alangkara

Unjuk rasa yang dilakukan warga Papua di beberapa kota di Indonesia terkait dengan isu rasisme juga bergema di Australia. Pada hari Jumat, warga Papua yang tinggal di Wilayah Victoria melakukan demo di depan kantor konsulat Jenderal RI di Melbourne dengan meneriakkan yel-yel 'Papua Merdeka'. 

Erwin Bleskadit dari Voice of West Papua menyampaikan pada SBS Indonesian bahwa aksi ini adalah bentuk solidaritas dari apa yang terjadi di Indonesia.

“Kami mengadakan demonstrasi di depan Indonesian Consulate [sebagai] solidaritas terhadap teman-teman mahasiswa yang asramanya dilempar oleh batu," ujarnya.

"Kejadiannya terjadi pada tanggal 16 [Agustus] sebelum hari kemerdekaan Indonesia.. terjadi di Surabaya dan Malang.

"Dan setelah itu tanggal 18 sampai 20 sampai hari ini juga masih ada demo besar-an di seluruh kota di Papua."
West Papuan
West Papuan protest in front of the Consulate General of the Republic of Indonesia office in Melbourne (23/08/2019). Source: Erwin Bleskadit
 bahwa sejumlah pelajar Papua ditangkap dari asrama mereka di kota Surabaya di Jawa Timur setelah dituduh tidak menghormati bendera Indonesia saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia.

Reaksi polisi atas isu ini lah yang diduga telah membuat situasi semakin buruk.

“Kita harus lihat kejadian di Surabaya. Bagaimana teriakan kata monyet.. atau monkey.. terhadap mahasiswa Papua di Surabaya," ujar Erwin Bleskadit. 

"Aparat keamanan yang seharusnya menjaga keamanan malah bawa senjata ke dalam asrama dan lempar batu, dan panggil kata monyet," tambahnya.

Mr Bleaskadit mengatakan bahwa ujaran 'monyet' ini bukanlah kali pertama diteriakkan oleh orang Indonesia terhadap orang Papua.

"Sudah lama sekali. Kemarin baru meluap kemarahan orang Papua," ungkapnya. 

Menurut Konsul Pensosbud Konjen RI di Melbourne, Albert Abdi, peserta demo ini tidak hanya masyarakat asal papua tetapi juga kelompok orang Australia.

Ia mengatakan aktivitas semacam ini bukanlah yang pertama kalinya.

“Kalau kita memberikan nama kelompok separatis Papua ya, artinya kita menyebut demikian karena Papua sendiri Sudah harga mati, mereka sudah final bagian dari NKRI, ujar Mr Abdi.

"Jadi kita menyebut semua aksi yang terkait dengan upaya disintegrasi atau memisahkan Papua, apapun bentuk kegiatannya."

Mr Abdi mengatakan bahwa pihak KJRI tidak melakukan interaksi langsung dengan para pendemo sesuai dengan himbauan dari AFP dan Victorian Police.

Kata 'maaf' tidaklah cukup

Terkait dengan respon aparat keamanan atas insiden unjuk rasa di Surabaya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa telah meminta maaf sementara Presiden Jokowi meminta warga untuk saling memaafkan. Tetapi Erwin Bleskadit dari Voice of West Papua mengatakan hal itu belumlah cukup. 

“Kami rasa bahwa kata maaf saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah ini," ujar Mr Bleskadit. "Apakah kata maaf itu akan bisa membalas semua kejahatan orang Indonesia terhadap orang Papua?"
West Papua protest
Activists staged a protest supporting West Papua's call for independence from Indonesia and for authorities to be held accountable for human rights violations. Source: AAP Image/EPA/BAGUS INDAHONO
Sementara Joni Saiba, pemuda asli suku Arfak yang juga Ketua Indonesian National Youth Commitee (KNPI) Manokwari Selatan, mengatakan pada SBS Indonesian bahwa warga Papua terlanjur sakit hati atas ujaran 'monyet' yang disampaikan.

“Permohonan maaf juga sudah disampaikan oleh Bapak Presiden RI.. Tapi kami orang Papua kan sudah sakit hati kok bisa kami dikatakan monyet," ungkapnya.

Mr Saiba mengaku demonstrasi yang kemudian berlarut-larut dan terjadi di beberapa kota di Papua termasuk Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak murni karena persoalan rasis.
West Papua protest
A woman stands near her burnt stall at Thumburuni market in Fakfak, West Papua, Indonesia. The market was torched by protesters during a violent rally on 21 August. Source: AAP Image/EPA/BEAWIHARTA
“Ketika permintaan permohonan maaf itu dari pemerintah pusat atau negara, maka orang Papua akan terima itu," ujarnya. "Namun kami tetap menentang yang namanya rasisme."

Akar permasalahan

Menurut pemuda asli Manokwari Joni Saiba, demo mahasiswa Papua di Surabaya adalah demo Papua Merdeka, memperingati hari jadi perjanjian 15 Agustus.

Pada 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda menandatangani di Markas PBB di New York, AS yang berisi tentang penyerahan wilayah Papua bagian Barat kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Papua Barat kemudian diserahkan kepada Indonesia.

Tetapi Mr Saiba mengatakan bahwa warga Papua Barat ingin merdeka.
LISTEN TO
Joni Saiba, president of South Manokwari's Indonesian National Youth Council (KNPI) image

Joni Saiba, Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Manokwari Selatan

SBS Indonesian

29/08/201911:07
“Iya [ingin merdeka]. Artinya dari persoalan integrasi Papua ke NKRI sudah 58 tahun ini kami melihat bahwa terjadi diskriminasi ras.. kesenjangan sosial.. yang begitu cukup terjadi," ujar Joni Saiba.

"Ini yang membuat orang Papua sebagai pemilik tanah dan pulau Papua ingin untuk menentukan nasib sendiri.

"Dan keinginan ini terjadi dalam waktu yang cukup lama sampai hari ini terjadi.. dan persoalan rasisme yang ada di Surabaya dan Malang, orang Papua langsung mintakan itu.

"Terjadi demonstrasi dan bendera Papua juga dikibarkan di sana."

Joni Saiba mengatakan bahwa perhatian pemerintah Indonesia terhadap Papua tidaklah sama dengan yang diberikan pada wilayah-wilayah lain di Indonesia.

“Kalau kita tinjau UU no. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua, ini.. Kan Negara memberikan hak untuk Papua, tetapi orang Papua menilai ini negara memberikan hanya dana atau uang sementara kewenangan kebijakan dll dalam roh perundang-undangan itu tidak," ungkap Mr Saiba.

“Intinya itu, kami orang Papua perlu diperhatikan seperti saudara-saudara yang lain di luar," ujarnya. "Masak UU yang sama seperti Aceh.. Aceh ada partai lokal.. Papua tidak. Aceh punya Aturan jelas, tetapi Papua
tidak.

"Ini perbedaannya di mana? Ini yang memuat dari tahun 61 sampai sekarang ini membuat orang Papua jenuh.

"Itu akar persoalan."

'Setiap orang Papua ingin merdeka'

Vanuatu diberitakan akan  bersama dengan pemimpin perjuangan kemerdekaan Papua Barat Benny Wenda, untuk menyerukan dukungan bagi kemerdekaan rakyat Papua Barat. 

Joni Saiba menyambut baik langkah tersebut.

“Saya secara pribadi, sebagai juga anak Papua, melihat dukungan dari sesama orang Indonesia yang ada di Vanuatu, di Solomon.. dan juga apa yang dilakukan oleh saudara saya, senior saya, kakak saya Benny Wenda ini baik karena ini adalah bagian dari perjuangan bangsa Papua untuk mencari dukungan dari negara-negara kepulauan Pasifik," ungkapnya.

"Ini adalah bagian dari hak orang Papua, secara terhormat minta dukungan dari saudara-saudara di kepulauan Pasifik."

Entah berani mengakui atau pun tidak, Joni Saiba mengatakan bahwa warga Papua ingin merdeka. 

“Setiap orang Papua pasti ingin merdeka, itu harus diingat baik," ucapnya.

"Hanya saja, kita berharap negara hadir untuk melihat pembangunan.. kegiatan.. itu harus merata. Tidak boleh ada diskriminasi. Tidak boleh ada pemisahan ras. Dan ini sering terjadi.

“Negara harus memberikan kenyamanan kepada semua orang Papua."

Share
Published 28 August 2019 11:53am
Updated 12 August 2022 3:28pm
By Sri Dean, Tia Ardha


Share this with family and friends