'Saya Gay, Asia dan Muslim': Bagaimana Rasanya Menjadi Pria Gay Berkulit Coklat Di Australia

Budi Sudarto datang ke Australia dengan harapan bahwa negara maju akan lebih terbuka menerima orang-orang LGBTI. Namun ia mengatakan bahwa pengalaman terberat dalam perjalanan pribadinya sebagai seorang lelaki gay Muslim justru terjadi saat ia di Australia.

Budi Sudarto LGBTI

Budi Sudarto speaks in Perth for the launching of 'Living and Loving in Diversity'. Source: Supplied/courtesy of Seven To One Photography

Budi Sudarto datang ke Australia tahun 1998 untuk melanjutkan sekolahnya dengan mengambil pendidikan sarjana di Monash University. Ia tinggal di Melbourne sejak saat itu.

Budi mengatakan dirinya memilih Australia karena ingin berada di lingkungan yang lebih terbuka terhadap orang-orang gay.

"Karena sewaktu di Jakarta, harus sembunyi-sembunyian," akunya.
Budi Sudarto LGBTI
Budi Sudarto was semi-depressed because of the rejection he had experienced. Source: Supplied
Mantan koordinator Gay Asian Proud di Victorian AIDS Council ini mengatakan dinamika respon masyarakat Australia terhadap kaum LGBTIQ telah banyak berubah sejak pertama kali dirinya tiba di negeri ini.

"Kalau di Australia dibandingkan dengan 90an, haknya LGBT sekarang malah lebih banyak," ujarnya, merujuk pada hak-hak seperti hak untuk menikah dan perlakuan anti diskriminasi.

"Jadi memang ada perbedaan yang lebih progresif dari tahun 90an."

Ia mengatakan tidak hanya reaksi dari masyarakat dan pemerintah yang berubah, tetapi juga dari sisi jumlah komunitas yang kini semakin banyak dan beragam.

"Kalau dulu tahun 90an komunitasnya kebanyakan yang berkulit putih, yang dari Asia masih sedikit," akunya. "Sekarang ini, apalagi sudah mau mulai Mardi Gras, kita sudah mulai banyak komunitas dari bermacam-macam negara, yang dari Indonesia juga akan ada di Mardi Gras, jadi cakupannya lebih luas."
Budi Sudarto LGBTI
Budi Sudarto takes part in Melbourne's Pride March on 2 February 2020. Source: Courtesy of Dean Arcuri - DEANation
Tetapi menjadi gay tidaklah selalu mudah bagi Budi, bahkan di Australia - tempat yang ia pikir jauh lebih terbuka daripada negara asalnya Indonesia.

Budi mengaku bahwa bagian tersulit dari perjalanan pribadinya sebagai seorang gay justru terjadi di Australia.

"Walaupun hak-hak kita itu lebih banyak, tetapi masih ada aja kan isu tentang ras di Australia.. masih ada aja isu bahwa kita ini kulitnya coklat," ujarnya. "Justru itu yang jadi masalah yang sangat besar sekali karena rasisme di komunitas LGBT itu lumayan kuat, apalagi tahun 90an itu lumayan kuat sekali."

Budi, yang saat ini menjadi Vice President di Australian GLBTIQ Multicultural Council, mengatakan bahwa hal itulah yang awalnya membuatnya berada di masa yang suram dan semi depresi akibat tidak dapat menemukan tempat dimana ia bisa menjadi diri sendiri.

Budi mengatakan bahwa terkadang ia tidak memiliki teman karena beberapa orang dari komunitas LGBTI tidak mau berteman dengan orang Asia.   

"Kadang-kadang kalau kita lagi ke club, kalau misalnya kita suka sama seseorang dan kita mau ngobrol, mereka bilang ke depan muka kita kalo 'not into Asian'," ungkapnya. "Itu yang membuat jati diri atau self-esteem saya turun sekali."

Budi mengatakan bahwa menjadi seorang Muslim juga tidak memudahkan proses ini.

Pendiri dan trainer di sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi tentang diversity dan inclusion ini mengaku perlu beberapa tahun bagi dirinya untuk dapat menerima diri sendiri.

Salah satu momen yang menguatkan Budi adalah saat dirinya menghadiri seminar di Sydney sekitar tiga tahun lalu tentang homoseksualitas dalam Islam, yang dibawakan oleh seorang imam gay asal Afrika Selatan.

"Aku belajar pengartian-pengartian dari interpretasi non-konservatif Al-Quran terhadap komunitas LGBT. Dan di situ saya benar-benar merasakan bahwa tidak ada yang salah dengan menjadi seorang Muslim yang gay", ungkapnya.

"Justru orang lain yang membuat diriku merasa bersalah tapi nggak ada masalah dengan diriku sendiri dan juga hubungan spiritualku dengan Tuhan".


Share
Published 26 February 2020 12:49pm
Updated 27 February 2020 10:22am
By Tia Ardha


Share this with family and friends