'Tidak Ada yang Akan Mengambil Resiko Itu': Pengungsi Afghanistan di Indonesia Berbicara tentang UU Medevac dan Kapal Ilegal

Seorang pengungsi Afghanistan yang sedang menanti selama empat tahun di Indonesia untuk dimukimkan kembali mengatakan UU 'Medevac' dan pembukaan kembali pusat detensi Christmas island tidak membuatnya atau pengungsi lain lebih ingin untuk naik kapal ke Australia.

Afghan refugee Asif Pazhwak has been living in Kupang, East Nusa Tenggara for four years.

Afghan refugee Asif Pazhwak has been living in Kupang, East Nusa Tenggara for four years. Source: Asif Pazhwak

Empat tahun lalu, Asif Pazhwak meninggalkan tanah kelahirannya sebagai mahasiswa IT berusia 26 tahun. Kini ia tinggal di Kupang, Indonesia, menunggu untuk dimukimkan kembali.

"Jujur saya tidak aman di Afghanistan jadi saya melarikan diri untuk tetap aman dan tidak terlalu sulit untuk mengetahui negara mana saja yang aman," ungkapnya kepada SBS Indonesian melalui pesan teks.

Setibanya di Jakarta, Mr Pazhwak mendaftarkan dirinya ke UNHCR dan kemudian direlokasikan ke kota Kupang di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Mr Pazhwak adalah satu dari sekitar 300 pengungsi, baik itu pria, wanita dan anak-anak, yang berada di Kupang dan menanti untuk dimukimkan ke negara ketiga. Dirinya mengatakan bahwa para pengungsi di sana telah menunggu selama tiga hingga enam tahun untuk dimukimkan kembali.
A boat carrying asylum seekers arrives at Christmas Island on in 2012.
A boat carrying asylum seekers arrives at Christmas Island on in 2012. Source: AAP
Setelah rancangan undang-undang transfer medis 'Medevac' disahkan melalui parlemen minggu lalu dengan dukungan dari Partai Buruh, Partai Hijau dan pihak crossbencher, topik mengenai pengungsi yang menaiki kapal di Indonesia untuk melakukan perjalanan berbahaya ke Australia kembali muncul.

Koalisi, yang menentang UU tersebut tetapi tidak dapat mencegahnya, mengisyaratkan bahwa pemindahan tahanan karena alasan medis dari Nauru dan Manus dapat mendorong munculnya gelombang baru pencari suaka yang menggunakan kapal.

Perdana Menteri Scott Morrison mengumumkan pada hari Rabu bahwa .

Diluar ketentuan bahwa pemindahan medis ini hanya akan berlaku untuk kelompok pengungsi dan pencari suaka yang ada di Pulau Manus dan Nauru, Morrison memperingatkan bahwa amandemen terhadap RUU Medevac dapat memunculkan kembali perdagangan penyelundupan manusia.

"Tugas saya sekarang adalah memastikan bahwa kapal-kapal itu tidak datang. Tugas saya sekarang adalah melakukan segala menurut kemampuan saya dan kekuasaan pemerintah untuk memastikan bahwa apa yang telah dilakukan parlemen untuk melemahkan perbatasan kita tidak berakibat pada masuknya kapal-kapal ke Australia," .
The Christmas Island detention centre.
The Christmas Island detention centre. Source: AAP
Berbicara kepada SBS Indonesian, Mr Pazhwak mengatakan dia akan senang jika Australia membantu mereka yang ditahan di Pulau Nauru dan Manus - terutama mereka yang membutuhkan bantuan medis.

Mengenai kekhawatiran Scott Morrison, Mr Pazhwak mengatakan para pengungsi tidak akan mencoba untuk pergi ke Australia dengan kapal, bahkan jika Christmas island dibuka kembali.

"Anda tahu pemerintah Australia dapat mengendalikan perbatasannya bahkan (jika mereka) membuka kembali Christmas island," jelasnya. "Mereka tidak akan melakukan itu [bepergian dengan kapal] ... Tentu saja, itu terlalu berbahaya. Tidak ada yang akan melakukan itu. Tidak ada yang akan mengambil risiko itu."

Mr Pazhwak mengatakan bahwa dirinya mengetahui hampir semua pengungsi yang tinggal di Kupang, dan mengatakan bahwa mereka tidak akan mengambil risiko untuk memasuki Australia dengan kapal.

"Saya tahu hampir semuanya," katanya. "Mereka tidak akan memilih pergi ke Australia dengan kapal karena terlalu berbahaya dan mereka juga sudah menunggu selama tiga hingga empat, bahkan enam tahun."

Mr Pazhwak mengatakan bahwa para pengungsi berharap untuk dimukimkan kembali di negara-negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru atau Amerika Serikat. Tetapi tidak ada janji kapan itu bisa terjadi.

Dipanggil dengan sebutan 'Kaka Asif' oleh masyarakat setempat, Mr Pazhwak tinggal di Lavender Hotel, Liliba di Kupang. Banyak pengungsi lain yang juga tinggal di hotel, yang telah diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi, dan menerima tunjangan bulanan sebesar Rp 1.250.000 (sekitar AUD$125).

Ia mengaku tunjangan ini tidak cukup karena biaya hidup yang tinggi di Kupang, yang melebihi daerah lain di Indonesia.

Karena pemerintah Indonesia tidak mengijinkan pengungsi untuk bekerja, Mr Pazhwak mengajar bahasa Inggris sebagai seorang sukarelawan di komunitas lokal bernama 'Rumah Sejuta Mimpi'.
Afghan refugee Asif Pazhwak
Afghan refugee Asif Pazhwak (R) teaches English as a volunteer at 'Rumah Sejuta Mimpi' in Kupang, East Nusa Tenggara. Source: Asif Pazhwak
Diluar kesulitan yang dialaminya, pemuda berusia 30 tahun ini mengatakan ia tidak akan mempertaruhkan hidupnya dengan menyeberang secara ilegal.

"Saya tidak akan pernah pergi ke Australia dengan cara ilegal karena pemerintah Australia akan mengirim saya kembali dan terlalu berbahaya untuk naik kapal," kata Mr Pazhwak. "Sekarang sayalah satu-satunya yang bisa menghidupi keluarga saya - itu sebabnya saya tidak bisa mengambil risiko seperti itu."

Mr Pazhwak mengatakan bahwa keluarganya masih berada di Afghanistan tetapi dirinya tidak lagi mendapatkan kabar setelah serangan Taliban di Malistan, tempat keluarganya tinggal, dan Jaghori. Dia mengatakan bahwa Taliban juga telah membunuh saudara laki-lakinya yang tertua.

Meski demikian Mr Pazhwak memiliki mimpi untuk suatu saat bisa berkumpul kembali dengan keluarganya di negara ketiga.

"Saya akan mencoba membawa keluarga saya untuk berkumpul kembali dengan saya karena Afghanistan tidak akan aman sepanjang hidup kami," ungkapnya. "Saya akan mencoba menjadi guru yang baik di negara ketiga dan tidak sabar untuk melihat senyum di keluarga saya dan membantu saudara perempuan dan lelaki saya (untuk) bersekolah dan belajar."

Share
Published 22 February 2019 4:46pm
By Tia Ardha


Share this with family and friends