Negara Asia Pasifik Manakah yang Paling Aman bagi Wanita?

Sebuah studi yang berfokus pada perawatan kesehatan, keselamatan, dan peluang bagi perempuan di negara-negara Asia Pasifik menempatkan Singapura, Selandia Baru dan Australia di puncak peringkat, sementara Indonesia, Filipina dan India di posisi terbawah.

A Filipino woman activist takes part in a caravan marking the International Day for the Elimination of Violence against Women in Manila, Philippines, 25/11/2015

Source: AAP

Perusahaan riset yang berbasis di Singapura, ValueChampion, pada hari Selasa mempublikasikan hasil studinya atas negara teraman bagi perempuan di Asia Pasifik .

Studi ini berfokus pada perawatan kesehatan, keselamatan dan peluang bagi para perempuan yang tinggal di 14 negara besar di wilayah tersebut.

"Untuk memeringkat negara, kami menggunakan rata-rata yang dititikberatkan pada aspek keselamatan, diikuti oleh perawatan kesehatan dan peluang. Peringkat keselamatan melihat berdasarkan perlindungan hukum dan kualitas kehidupan dari suatu negara,"

Singapura dan Selandia Baru disebut sebagai tempat paling tidak berbahaya bagi perempuan untuk tinggal karena kedua negara ini secara konsisten memiliki skor yang baik pada indeks global utama seperti Global Peace Index 2018 dan 2018 Human Development Index 2018.

Image

Australia berada di peringkat ketiga karena dinilai lebih sedikit memiliki tindak kriminalitas, ketersediaan layanan kesehatan dan akses ke pendidikan yang baik, adanya peluang kerja dan bantuan hukum bagi perempuan dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

"Kekerasan seksual dan pelecehan terhadap perempuan dikriminalisasi dalam semua kasus, yang berarti perempuan memiliki opsi hukum penuh terhadap segala bentuk serangan bersifat gender-specific," tulis Ms Evlanova.

Namun Filipina, Indonesia dan India berada di posisi tiga terbawah dalam daftar karena negara-negara ini memiliki akses di bawah rata-rata untuk layanan kesehatan, lemahnya undang-undang tentang keselamatan perempuan, buruknya akses sumber daya keluarga berencana dan ketimpangan secara keseluruhan.

"Meskipun ada intervensi pemerintah dan upaya untuk memberlakukan undang-undang yang melindungi keselamatan perempuan, sikap patriarkal yang mengakar kuat baik karena kepercayaan budaya ataupun agama menyebabkan perempuan lebih khawatir akan kesejahteraan mereka daripada di negara lain dalam daftar kami," tulis Ms Evlanova.

Di Filipina, satu dari empat perempuan berusia 15-49 tahun mengalami kekerasan fisik, seksual atau emosional yang dilakukan oleh suami atau pasangan mereka, menurut Survei Kependudukan dan Kesehatan Nasional 2019 yang dilakukan oleh Otoritas Statistik Filipina, .
Indonesian female activists form a banner during a peace rally against sexual violence on children and on women in Banda Aceh, 11/05/2016.
Indonesian female activists form a banner during a peace rally against sexual violence on children and on women in Banda Aceh, 11/05/2016. Source: AAP
Sementara di Indonesia, upaya untuk meloloskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) di DPR belum berhasil, bahkan lima tahun sejak komisi pemerintah menyatakan Indonesia berada dalam keadaan darurat kekerasan seksual.

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Indonesia, Mariana Amiruddin mengatakan bahwa organisasinya mendukung RUU tersebut karena jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat setiap tahunnya.

"Sudah begitu, kekerasan seksual sekarang dimensinya lebih luas, sekarang masuk ke online, ke siber, terus disabilitas juga sekarang angka perkosaannya tinggi," ujar Ms Amiruddin . "Jadi bukan untuk kepentingan Komnas Perempuan, tapi buat kepentingan masyarakat perempuan Indonesia."

India yang berada di peringkat paling bawah dalam daftar itu bahkan disebut sebagai negara paling berbahaya di dunia bagi perempuan, , karena tingginya risiko kekerasan seksual dan persentase perempuan yang dipaksa menjadi budak.
Meski demikian, tim riset mengakui penelitian mereka menunjukkan bahwa pelaporan untuk beberapa tindakan kejahatan dan keselamatan mungkin tidaklah sempurna.

"Sebagai contoh, kami menemukan bahwa di setiap negara yang kami analisis, tidak semua pelecehan seksual dan KDRT dilaporkan," tulis Evlanova.

"Karena itu, kami tidak benar-benar mengetahui jumlah pasti tindak kejahatan yang dilakukan terhadap perempuan setiap harinya dan dengan demikian tidak dapat mempertimbangkan tingkat ini dalam analisis kami di luar bukti empiris."

Share
Published 7 March 2019 3:11pm
Updated 8 March 2019 2:18pm
By Tia Ardha


Share this with family and friends