Setelah Cina melarang impor sebagian besar sampah plastik pada tahun 2018, negara-negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara, telah menerima gelombang besar limbah plastik yang terkontaminasi dan campuran yang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk didaur ulang.
Kota pelabuhan Surabaya di Jawa Timur dan Batam yang berada di Kepulauan Riau merupakan dua tujuan pengiriman sampah, dengan Australia menjadi salah satu negara eksportirnya.
"Kertas bekas yang diimpor dari Australia terkontaminasi oleh sampah seperti botol plastik, oli bekas dan barang elektronik bekas," , Kepala Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
Sementara itu bahwa sebanyak 49 kontainer berisi limbah dan sampah plastik ditemukan di Pelabuhan Batu Ampar, Batam dan akan diekspor kembali ke negara asalnya, seperti Australia, Perancis, Jerman, Hongkong, dan Amerika Serikat. 38 diantara 49 kontainer itu dinyatakan mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) berdasarkan pemeriksaan laboratorium bea cukai. bahwa perusahaan Australian, Visy Recycling, berada di balik ekportasi kontainer berisi sampah plastik yang dianggap beracun yang ditemukan di Batam. Diberitakan bahwa ada dokumen yang menunjukkan kontainer dikirim oleh salah satu perusahaan daur ulang terbesar dunia tersebut dan ditandai sebagai plastik bekas campuran "non-B3" yang tidak beracun, tetapi berbau dan mengeluarkan cairan hitam dengan belatung.
Indonesian officials check one of the 49 containers loaded with a combination of garbage, plastic waste and hazardous materials in the city of Batam. Source: ANDARU/AFP/Getty Images
Mengapa impor sampah?
Ditengah perdebatan tentang isu ekspor-impor sampah, muncul pertanyaan mendasar mengapa negara-negara berkembang, termasuk Indonesian, masih juga mau menerima sampah dari negara-negara maju.
Riko Kurniawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup di Riau, Kepulauan Riau mempertanyakan hal serupa.
“Kenapa masih ada kebijakan menerima sampah-sampah impor tersebut sedangkan daerah kita belum ada satu pun kemampuan atau teknologi untuk mengelola atau mendaur ulang sampah ini", ujarnya saat dihubungi oleh koresponden SBS Indonesian.
Riko mengatakan bahwa meski banyak disampaikan bahwa sampah impor ini digunakan untuk material produksi, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian.
”Banyak yang dibuang di tempat-tempat pembuangan sampah yang tidak dikelola dengan baik,“ ujarnya. “Kalo 100 persen sampah kita impor, yang mereka kelola itu paling banyak 20 sampe 30 persen. Sisanya jadi beban daerah.”
Riko mengatakan bahwa bisnis sampah ini besar nilainya di Indonesia, bukan karena nilai dari sampah itu sendiri melainkan karena bayaran yang diterima dari negara ekportir. Menurut Riko inilah mengapa impor sampah masih dilakukan meskipun pengelolaan sampah domestik belum dilakukan secara baik.
"Jadi dari hitungan bisnisnya, mereka itu dapat uang untuk mengelola sampah,” ungkapnya. “Ditambah lagi dengan hasil yang mereka olah dari sampah impor tadi. Jadi ada 2 keuntungan yang mereka dapat.”
Imported waste is welcomed by developing countries because it talks money, says the Director of Forum for Environment in Riau Islands. Source: ANDARU/AFP/Getty Images
Apa peran Australia dalam bisnis sampah Indonesia?
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Blue Environment - organisasi yang ditugaskan oleh Departemen Lingkungan dan Energi untuk menganalisa dan melaporkan ekspor bulanan limbah Australia - ada enam negara yang menerima 75 persen (berdasar berat) ekspor limbah Australia pada Mei 2019, yaitu Cina (termasuk Hong Kong dan Makau), India, Bangladesh, Indonesia, Malaysia dan Thailand. Ekspor sampah ke Indonesia didominasi oleh logam bekas.Data tersebut juga menyebutkan bahwa ekspor limbah berbahaya Australia menurun 3 persen pada bulan Mei, dengan fraksi terbesar adalah sampah roda, diikuti dengan sampah dan potongan timbal. Namun dibandingkan dengan rata-rata bulanan untuk tahun 2017-18, ekspor plastik bekas dan limbah berbahaya pada Mei 2019 jauh lebih tinggi.
Blue Environment assessment of waste exports from Australia in May 2019. (Blue Environment) Source: Blue Environment
Dengan kebijakan pembatasan impor limbah yang diterapkan, data menunjukkan bahwa hal itu belum berdampak pada bisnis ekspor sampah Australia.
Assessment of waste exports from Australia in May 2019. (Blue Environment) Source: Blue Environment
Mengembalikan ke pengirim?
Menanggapi isu impor sampah yang disisipi B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI bersama dengan pihak-pihak terkait mengatakan mereka akan mengirimkan kembali sampah ke negara asal.
Bea Cukai Tanjung Perak Surabaya delapan kontainer berisi 282 bundel sampah seberat 210 ton ke Australia, yang disinyalir terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sampah ini dikirim oleh perusahaan berinisial PT MDI melalui Shipper Oceanic Multitading Pty. Ltd dari Pelabuhan Brisbane, Australia, dan tiba di Pelabuhan Tanjung Perak pada 12 Juni lalu.
Basuki Suryanto, head of the customs department at the Tanjung Perak port, mengatakan pihaknya akan meminta importir untuk re-ekspor atau mengirimkan sampah tersebut kembali ke Australia, paling lama dalam 90 hari terhitung sejak masuk di Indonesia.
Namun Riko Kurniawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Riau mengatakan bahwa meski pemerintah meminta sampah-sampah ini dikirimkan kembali ke negara asal, tetapi pada prakteknya akan ada banyak halangan.
"Secara kebijakan [pengembalian] ini baik, tapi kan akan biaya lagi untuk mengembalikan ke sana," ujarnya. "Terus ada hambatan lagi, negara asal menolak".
Bagaimana menghentikan impor sampah terlarang?
Agar dapat mencegah agar pengiriman sampah terlarang ini terjadi lagi, Riko dari Walhi Riau mengatakan bahwa pemerintah Indonesia harus mengganti kebijakannya.
"Pemerintah harus menarik kembali kebijakan-kebijakan tentang sampah, termasuk tentang perijinannya," ujarnya. "Jadi bagaimana sebenarnya kebijakan Indonesia dan daerah untuk tidak lagi menerima sampah impor. Toh negara kita juga penghasil sampah."
Riko menambahkan bahwa meski negara dunia sudah sepakat bahwa sampah B3 harus diolah di negara asal dan bukan dibuang ke negara lain, tetapi pelaksanaannya tidaklah mudah.
"Siapa yang bisa mengawasi itu [masuknya B3] klo kebijakan impornya masih dibuka," tegasnya. "Harus dicabut dulu kebijakan itu dan direvisi kembali.. Ijin-ijin impor sampah itu harus ditertibkan lagi dan tidak boleh lagi sampah dari luar.
”Persoalan utamanya adalah negara penghasil sampah berlebih bisa bersih dengan mengalihkan beban pengelolaannya ke negara2 berkembang.
”Celakanya ini disambut oleh negara-negara berkembang karena bicara duitnya.”