Pemerintah Indonesia, Pengungsi Desak UNHCR untuk Memukimkan Mereka yang 'Terdampar'

Pengungsi dan pemerintah Indonesia mendesak Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) dan negara-negara pihak ketiga untuk mempercepat pemukiman kembali ribuan pengungsi.

Refugees from various countries hold a banner during a protest outside the building that house the Australian Consulate in Makassar, Indonesia, Tue 20/8/2019.

Refugees from various countries hold a banner during a protest outside the building that house the Australian Consulate in Makassar, Indonesia, Tue 20/8/2019. Source: AAP Image/AP Photo/Masyudi S. Firmansyah

Pengungsi di Indonesia yang mengaku sebagai korban "terlupakan" dari kebijakan perlindungan perbatasan Australia mengadakan demonstrasi di kota-kota Indonesia pada hari Selasa, termasuk di depan kantor UNHCR di Jakarta dan di konsulat Australia di Makassar.

 bahwa para pengungsi datang dari negara-negara termasuk Afghanistan, Sudan, Somalia, Myanmar, Iran dan Irak.

Unjuk rasa juga di depan kantor Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) di Pekanbaru, Riau sehari sebelumnya.  bahwa para pengungsi ini menuntut percepatan untuk keberangkatan ke negara tujuan suaka.
Refugees from various countries hold posters during a protest outside the building that house UNHCR representative office in Jakarta, Indonesia, Tue 20/8/2019.
Refugees from various countries hold posters during a protest outside the building that house UNHCR representative office in Jakarta, Indonesia, Tue 20/8/2019. Source: AAP Image/AP Photo/Tatan Syuflana
Tekanan serupa juga datang dari pihak berwenang Indonesia menyusul terjadinya unjuk rasa.

Kemenko Polhukam telah mendesak UNHCR untuk segera mencari penyelesaian masalah pengungsi yang terlantar di Indonesia.

"Mereka kita desak dan dorong untuk mempercepat proses resettlement atau penempatan di negara ketiga khususnya pengungsi luar negeri yang ada di Pekanbaru,"  saat berbicara di Pekanbaru.

Menurut website UNHCR Indonesia, saat ini terdapat sekitar 14.000 pengungsi terdaftar di kantor UNHCR di Indonesia. Hingga akhir December 2018, sebagian pengungsi itu datang dari Afghanistan (55%), Somalia (11%) dan Myanmar (6%).

Mr Anwar mengatakan bahwa pesan yang disampaikan dalam unjuk rasa pengungsi di beberapa kota tersebut adalah sama, dan oleh karenanya UNHCR harus segera mengambil tindakan karena itu adalah tanggung jawab mereka, bukan pemerintah Indonesia.
Penantian bertahun-tahun tanpa adanya kejelasan juga dirasakan di pos pengungsi luar negeri di Kota Kupang, di belahan Timur Indonesia. Pengungsi di sini dapat memahami latar belakang unjuk rasa tersebut.

"Tentu saja tidak mudah untuk menjadi migran, Anda tidak tahu di mana akhirnya Anda akan tinggal," kata pengungsi Afghanistan Asif Pazhwak kepada SBS Indonesian melalui pesan WhatsApp.

"Yah, orang-orang ini menunggu 5 hingga 7 tahun untuk mendapatkan pemukiman kembali dari Australia. Anda tahu itu bukan waktu yang singkat, kan?"

Meskipun permintaan pemukiman kembali terus-menerus ditujukan ke Australia,  bahwa pencari suaka yang mendaftar dengan UNHCR di Indonesia setelah 1 Juli tidak akan memenuhi syarat untuk pemukiman kembali di Australia. Langkah itu "dirancang untuk menghentikan aliran orang ke Indonesia".

Ditanya terkait hal ini, Mr Pazhwak yang telah tinggal di akomodasi pengungsi di Kupang selama empat tahun terakhir mengatakan bahwa beberapa pengungsi sudah mengetahui larangan ini, tetapi tidak ada jalan lain selain menunggu.

"Beberapa migran tahu itu, tetapi mereka tidak punya pilihan lain," kata mantan mahasiswa IT itu.

"Kami tidak hanya berharap pada Australia... kami hanya mencari tempat yang aman untuk hidup. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, dll juga boleh."

Tetapi ia juga tahu bahwa para pengungsi yang terdampar di Indonesia bukanlah tanggung jawab AS atau Kanada.

"Itulah sebabnya kami mencari rasa kemanusiaan untuk menyelamatkan satu sama lain dari bahaya," kata pria berusia 30 tahun yang merupakan salah satu dari sekitar 300 pengungsi yang tinggal di Kupang.
Afghan refugee Asif Pazhwak
Afghan refugee Asif Pazhwak (R) teaches English as a volunteer at 'Rumah Sejuta Mimpi' in Kupang, East Nusa Tenggara. Source: Asif Pazhwak
Mr Pazhwak mengatakan aksi protes ini perlu dilaksanakan untuk mendesak dilakukannya pemukiman secepatnya, tetapi para pengungsi di Kupang memilih untuk tidak melakukan unjuk rasa seperti di kota-kota lain.

"Tentu saja perlu untuk tetap bertanggung jawab [atas] orang-orang... Kami juga manusia dan kami memiliki keluarga, impian," kata Mr Pazhwak yang ingin menjadi guru di negara mana pun nantinya ia dimukimkan.

"Kami belum akan melakukan demo karena Kupang adalah kota kecil dan kami juga harus menghormati pemerintah dan rakyat Indonesia."

'Menjadi pengungsi tidaklah mudah'

Pengungsi asal Afghanistan, yang memiliki mimpi untuk suatu hari nanti bersatu kembali dengan keluarganya di negara lain, menegaskan betapa sulitnya hidup sebagai seorang pengungsi, sangat sulit hingga ia ingin menulis tentang hal ini.

"Menjelaskan [tentang] menjadi pengungsi tidaklah mudah, mungkin ketika saya mencetak buku [tentang kehidupan para pengungsi] Anda dapat membacanya," Asif Pazhwak mengatakan kepada SBS Indonesian. "Saya mencatat semua kesulitan yang dihadapi oleh seorang pengungsi.

"Tetapi mencetak di sini dan pada situasi ini tidaklah mudah. ​​Anda tidak diperbolehkan bekerja [adalah salah satu dari] banyak masalah lainnya.

"Contohnya, saya ingin melanjutkan studi saya di sini tetapi tidak bisa karena saya seorang pengungsi dan lahir di Afghanistan.

"Menjadi pengungsi sangatlah sulit karena itu setiap hari ketika saya bangun di pagi hari saya berdoa agar semua orang hidup dalam damai."

Mr Pazhwak memohon negara-negara untuk menerima pengungsi yang menanti dengan tidak jelas.

"Tolong buka hati Anda. Karena menjadi pengungsi bukanlah pilihan kami."

Share
Published 21 August 2019 5:38pm
Updated 22 August 2019 10:29am
By Tia Ardha


Share this with family and friends