Korban 'Terlupakan' dari Kebijakan Perbatasan Australia Berdemo di Indonesia

Para pengungsi dari seluruh dunia yang "terlantar" di Indonesia memprotes pembekuan kebijakan pemukiman kembali bagi pengungsi di luar Australia - keputusan yang diambil oleh Scott Morrison pada tahun 2014.

Refugees protest in Jakarta.

Refugees protest in Jakarta. Source: Getty

Para pengungsi di Indonesia yang mengaku sebagai korban "terlupakan" dari kebijakan perlindungan perbatasan Australia mengadakan demonstrasi di beberapa wilayah yang tersebar di negara Asia Tenggara itu pada hari Selasa.

Karena Australia telah , sekitar 15.000 pengungsi mengatakan mereka sekarang "terlantar" di Indonesia dimana hak asasi manusia mereka terbatasi.

Mereka datang dari negara-negara tseperti Afghanistan, Sudan, Somalia, Myanmar, Iran dan Irak, dengan sebagian besar berharap untuk menggunakan Indonesia sebagai negara transit dalam perjalanan ke Australia. Beberapa tinggal di pusat-pusat penahanan lokal, sementara yang lain terpaksa hidup di jalanan.
Beberapa dari mereka melakukan demo di berbagai lokasi di seluruh negeri itu termasuk konsulat Australia di Makassar, meminta Australia meninjau kembali kebijakannya terhadap mereka.
The protest at Makassar.
The protest at Makassar. Source: Supplied
"Kebijakan pengungsi Australia dibajak oleh isu-isu politik domestik dan para pengungsi digunakan sebagai bidak dalam permainan yang lebih besar ini," baca sepucuk surat dari para pengungsi yang disampaikan kepada para pejabat diplomatik Australia.

"Para pengungsi di Indonesia adalah yang paling terkena dampaknya, terpilih untuk dijadikan contoh dan penghalang bagi lainnya yang mencari perlindungan di Australia."

"Para pejabat Indonesia dan UNHCR terus-menerus memberi tahu kami bahwa masa depan kami ada di tangan negara-negara pemukiman kembali seperti Australia, AS, Selandia Baru, dan Kanada. Namun, dalam korespondensi kami yang sering dengan Kanada dan AS, mereka memberi tahu kami bahwa Indonesia adalah di luar zona tanggung jawab mereka. "
Refugees from various countries hold a rally in Jakarta.
Refugees from various countries hold a rally in Jakarta. Source: Getty
Pada 2013, Partai Buruh mengumumkan bahwa tidak ada pencari suaka yang tiba dengan kapal akan dimukimkan kembali di Australia.

Kemudian pada tahun 2014, Koalisi bahkan melangkah lebih jauh - memberi sinyal bahwa para pencari suaka yang terdaftar dengan UNHCR di Indonesia setelah 1 Juli tidak akan memenuhi syarat untuk dimukimkan kembali di Australia. Langkah itu "dirancang untuk menghentikan orang mengalir ke Indonesia".

Pada saat itu, Menteri Imigrasi saat itu Scott Morrison mengatakan: "Kami berusaha menghentikan orang untuk berpikir bahwa tidak apa-apa untuk datang ke Indonesia dan menggunakannya sebagai tempat menunggu untuk sampai ke Australia."

"Ini seperti mengambil gula dari meja."

Surat itu mengklaim "keputusan itu membuat para pengungsi... dalam keadaan terlupakan sepenuhnya".

'Sebuah penjara terbuka'

SBS News berbicara dengan pengungsi Rohingya, JN Jonaid, saat sebelum protes. Ia telah berada di kota Makassar, Indonesia selama enam tahun terakhir.

Mr Jonaid mengatakan dia "tidak punya pilihan" selain meninggalkan negara asalnya Myanmar pada 2013 karena "aksi genosida" dan diskriminasi yang meluas terhadap kaumnya.

Dia melarikan diri ke Indonesia dan kemudian mencoba menuju Christmas Islan dengan menggunakan kapal, tetapi dihentikan oleh otoritas setempat.

"Saya tidak bisa kembali ke negara asal karena pemerintah tidak menerima saya. Jika saya kembali ke negara saya, mereka mungkin membunuh saya.

Tanpa adanya pilihan lain, katanya, ia tinggal di Indonesia - negara yang tidak menandatangani Konvensi Terkait Status Pengungsi 1951.

"[Di sini], para pengungsi tidak dapat melanjutkan pendidikan, aktivitas kami dibatasi, kami harus tinggal di akomodasi yang ditetapkan, ada jam malam... ini adalah penjara terbuka," katanya.

Mr Jonaid mengikuti demo di Makassar, mendesak pemerintahan Morrison untuk menerima para pengungsi dari Indonesia.
JN Jonaid in Makassar.
JN Jonaid in Makassar. Source: Supplied
"Beberapa [pengungsi] di sini telah melakukan bunuh diri dan banyak yang mengalami masalah kesehatan mental... Saya takut situasi akan memburuk," ujarnya.

Kebijakan diakui dengan menyelamatkan nyawa

Seorang juru bicara Departemen Dalam Negeri membela keputusan untuk memblokir para pencari suaka yang terdaftar di UNHCR di Indonesia setelah pertengahan 2014.

"[Ini] melayani kepentingan Indonesia dan Australia. Langkah ini dirancang untuk mengurangi pergerakan para pencari suaka ke Indonesia melalui perjalanan berbahaya dan mendorong mereka untuk mencari permukiman kembali di negara-negara suaka pertama," kata juru bicara itu kepada SBS News.

Dan "sejalan dengan komitmen lama kami untuk Indonesia, Australia terus mendanai kerja dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) untuk mendukung sekitar 8.500 pengungsi di Indonesia yang terdaftar dengan IOM sebelum Maret 2018."

"Setiap orang yang terdaftar di UNHCR terus dapat mengakses informasi dan dukungan melalui program Pemulangan Sukarela dan Reintegrasi Terpandu dari IOM untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke negara asal mereka. Program ini sepenuhnya bersifat sukarela."

Menurut Departemen Dalam Negeri, antara 2008 dan 2013, lebih dari 50.000 orang "pergi secara ilegal ke Australia dengan lebih dari 800 perjalanan perorangan dengan kapal" dimana dalam kurun waktu itu lebih dari 1.200 orang tenggelam.

Tetapi setelah Operation Sovereign Borders, "sudah lebih dari lima setengah tahun sejak kasus kematian terakhir di laut akibat dari penyelundupan manusia lewat laut ke Australia".

Pendirian hukum

Mary Crock, seorang profesor hukum publik di University of Sydney, mengatakan "deprioritising" pengungsi di Indonesia telah menjadi bagian sentral dari strategi perlindungan perbatasan Australia.

"Indonesia menjadi tuan rumah bagi penyelundup manusia. Baik Partai Buruh maupun Koalisi putus asa menginginkan agar mereka tidak lagi beroperasi dan itulah mengapa mereka ingin mempersulit hal ini [bagi pengungsi]."

Ia mengatakan, sebagai akibatnya, sebanyak 15.000 orang "secara teknis berada dalam kesulitan yang sama dengan pengungsi di kamp pengungsian, tetapi mungkin lebih buruk karena Australia telah membuatnya sangat jelas [bahwa mereka tidak akan masuk]".

Tetapi Kate Ogg, seorang dosen senior di Fakultas Hukum ANU, mengatakan sudut pandang Australia terhadap para pengungsi sah menurut hukum internasional.

"Australia tidak memiliki kewajiban hukum [untuk membawa mereka ke Australia] karena mereka berada di wilayah Indonesia dan tidak tunduk pada yurisdiksi Australia," katanya.

Ms Ogg mengatakan pemukiman kembali "tidak dianggap sebagai kewajiban hukum" berdasarkan Konvensi Terkait dengan Status Pengungsi 1951.

"Tetapi hanya karena Australia mungkin tidak memicu pelanggaran konvensi pengungsi, hal itu tidak berarti bahwa Australia bertindak selayaknya warga dunia yang etis," tambahnya.

Anda yang mencari dukungan dan informasi tentang pencegahan bunuh diri dapat menghubungi Lifeline di 13 11 14, Suicide Call Back Service di 1300 659 467 dan Kids Helpline di 1800 55 1800 (hingga usia 25 tahun). Informasi lebih lanjut tentang kesehatan mental tersedia di .

Share
Published 20 August 2019 11:52pm
Updated 21 August 2019 12:01am
Source: SBS News


Share this with family and friends